Sabtu, 22 Januari 2011

Strategi Pembangunan yang Memberdayakan Ekonomi Rakyat Menuju Demokrasi Ekonomi yang Berlandaskan Pancasila di Era Globalisasi


1. Pendahuluan
Secara ekonomi, globalisasi merupakan proses pengintegrasian ekonomi nasional bangsa-bagsa ke dalam sebuah sistem ekonomi global. Di era globalisasi ini, pola kehidupan kapitalis makin kental dan meresap ke sendi-sendi kehidupan bangsa. Tidak heran jika dewasa ini makin banyak menyaksikan pergeseran nilai – nilai kehidupan berbudaya, akhirnya muncullah budaya permissive, gaya hidup hedonistic, kemiskinan ditengah kemakmuran dan lain-lain yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Individualisme, materialisme dan konsumerisme menjadi virus masyarakat Indonesia, faham-faham inilah yang kemudian meracuni pola pikir masyarakat Indonesia sehingga menghambat apa yang telah dicita-citakan bangsa Indonesia.
Memang system ekonomi bukan satu-satunya sumber penyebab dari perubahan yang demikian. Tetapi diantara bidang-bidang kehidupan lain, ekonomi demikian efektif dan dominannya mempengaruhi system kehidupan masyarakat. Seolah-olah factor ekonomilah yang membentuk karakter manusia, padahal manusialah yang seharusnya mengendalikan tingkah laku ekonomi. Sistem ekonomi seharusnya berawal dari sebuah cita-cita suatu bangsa untuk mencapai masyarakat yang adil, maju dan makmur dari segi material maupun spiritual yang berdasar Ketuhanan, Kemanusiaan dan Kebangsaan.
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan hasil alam maupun budayanya, artinya Indonesia mempunyai modal untuk mensejahtrakan rakyatnya. Tetapi pada kenyataannya Indonesia berperan sebagai objek pasar diera globalisasi ini.
Dalam era globalisasi, liberalisasi yang terjadi pada perdagangan akan memicu persaingan yang sangat ketat antara kesatuan ekonomi dunia. AFTA (ASEAN Free Trade Area) yang telah berlaku pada tahun 2003 dan Indonesia harus memulai membuka masuknya produk dan jasa dari Negara ASEAN, pada tahun 2010 berlakunya kesepakatan dengan APEC (Asia Pasific Ekonomic Cooperation,)sedangkan kesepakatan dengan GATT (General Agreement on Trade and Traffic) mulai berlaku pada tahun 2020 dengan demikian Indonesia harus membuka pintu lebih lebar terhadap produk dan jasa dari seluruh dunia.
Melihat tantangan yang sangat besar, Indonesia hendaklah mempersiapkan strategi dalam membangun Negara Indonesia yang selalu berpegang teguh pada ideology nasional bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Secara yuridis Pancasila sebagai dasar filsafat Negara Republik Indonesia yang kedudukan dan fungsinya memiliki pengertian yang sangat luas, karena pancasila mempunyai pengertian –pengertian secara etimologis, historis dan terminologis.
Demikian apabila kita lihat norma-norma kehidupan ekonomi kita tertuang dalam pasal 33 UUD 1945, atau lebih tercermin dalam ideology Negara. Tetapi bagaimana menjadikan UUD 1945 dan Pancasila itu dapat betul-betul teraktualisasi dalam kehidupan Negara dan masyarakat kita ?..

II. Pancasila Sebagai Dasar Sistem Ekonomi Indonesia yang Berbasis Kerakyatan
Dalam menghubungkan ekonomi Pancasila atau dalam “Ekonomi-Pancasila” maka Pancasila erlu dijadikan “dasar pikir kefilsafatan Ekonomi. Ekonomi diperlukan manusia sebagai syarat perikehidupannya dalam arti yang luas, dari sini terjalin filsafat ekonomi dan filsafat manusia.
Manusia hidup mempunyai dua sisi yang berbeda bentuk, namun bersamaan sifat, ialah jasmani dan rohani yang lahir dan yang batin. Keduanya salingberkaitan. Hidup manusia selalu mencari keseimbangan dalam pertumbuhan dan pengembangan kedua sisi itu. Sehingga filsafat hidup yang menelusur adanya keseimbangan antara filsafat ekonomi dan filsafat manusia itu yang dijadikan prinsip hidup bangsa Indonesia yang religius dan beragama.
Ekonomi kerakyatan yang dianggap kebanyakan orang merupakan konsep baru setelah konsep itu muncul secara tiba-tiba pada era reformasi. Padahal ekonomi kerakyatan bukan konsep baru. Ia merupakan konsep lama yaituEkonomi Panca­sila, namun hanya lebih ditekankan pada sila ke empat yaitukerakyatan yang di­pimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Inilah asas demokrasi ekonomi sebagaimana tercantum pada penjelasan pasal 33 UUD 1945, yang oleh ST MPR 2002 dijadikan ayat 4 baru. Artinya secara substansi dari keduanya memiliki landasan yang sama.

Pembangunan Dari Sudut Pandang Pancasila
Masalah – masalah pembangunan atau perkembangan ekonomi, ada kaitannya dengan pemerintah, karena peranan pemerintah sangatlah penting. Ada dua aliran, yang pertama lebih menekankan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatur keuangan yang disesuaikan dengan kebutuhan pertumbuhan ekonomi seta membatasi peranannya sebagai “polisi lalu lintas” dan penegak hukum yang melindungi kebebasan individu dan kemerdekaan ekonomi sesuai dengan prinsip “I aissez fair laissez passer”. Sedangkan aliran yang kedua lebih menekankan pada kebijakan pemerintah untuk melakukan intervensi yang aktif melalui pengaturan anggaran yang ditunjang oleh penyesuaian dalam mengatur lalu lintas peredaran uang dengan tujuan utama untuk mempertahankan stabilitas ekonomi.
Dengan diakuinya peranan pemerintah, maka bentuk-bentuk intervensi pemerintah itu harus berkembang lebih jauh misalnya mengatur upah dan harga. Melindungi kepada kaum petani dan kaum proletar, mengatur persediaan dan penyediaan pangan, membatasi pengaruh metropolistis dari perusahaan-perusahaan raksasa. Dalam konsep ini pengertian pembangunan masih terbatas pada masalah disekitar peranan kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi untuk mempengaruhi, ekonomi itu kemudian di imbangi dengan kerangka-kerangka pengaturan ruang atau wilayah pembangunan menurut patensi sumber-sumber ekonomi. Artinya orang tidak lagi hanya berbicara mengenai kebijaksanaan-kebijaksanaan moneter dan fiscal saja, melaikan merencanakan pertumbuhan ekonomi jangka panjang, baik menurut sector maupun daerah dengan strategi pertumbuhan pemerataan pembangunan.
Dimensi-dimensi tujuan pembangunan itu memberi petunjuk mengenai bagaimana cara dan proses dalam mencapai tujuan itu. Dengan dasar Pancasila yang menghargai nilai-nilai individu seimbang dengan nilai-nilai sosial, maka seberapapun peran pemerintah dan Negara, haruslah mengutamakan kepentingan masyarakat. Sebenarnya pola pembangunan haruslah dari bawah, artinya pembangunan yang didasarkan pada potensi rakyat sebagai sumber energi.

Sistem Ekonomi Pancasila
System ekonomi suatu Negara dapat di tinjau dari dua segi yaitu dari segi ekonomi dan dari segi structur ekonomi. System ekonomi adalah keseluruhan lembaga dalam mengelolah sumber-sumber ekonominya sedangkan struktur ekonomi adalah komposisi sector-sektor ekonomi yang ada pada Negara bersangkutan.
Ekonomi Kerakyatan adalah Sistem Ekonomi Nasional Indonesia yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat. Pemihakan dan perlindungan ditujukan pada ekonomi rakyat yang sejak zaman penjajahan sampai 57 tahun Indonesia merdeka selalu terpinggirkan. Syarat mutlak berjalannya sistem ekonomi nasional yang berkeadilan sosial adalah berdaulat di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya.
Moral Pembangunan yang mendasari paradigma pembangunan yang berkeadilan sosial mencakup:
1. peningkatan partisipasi dan emansipasi rakyat baik laki-laki maupun perempuan dengan otonomi daerah yang penuh dan bertanggung jawab.
2. penyegaran nasionalisme ekonomi melawan segala bentuk ketidakadilan sistem dan kebijakan ekonomi.
3. pendekatan pembangunan berkelanjutan yang multidisipliner dan multikultural.
4. pencegahan kecenderungan disintegrasi sosial
5. penghormatan hak-hak asasi manusia (HAM) dan masyarakat
6. pengkajian ulang pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu ekonomi dan sosial di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi.

Srategi pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat merupakan strategi melaksana­kan demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dan di bawah pimpinan dan penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang. Maka kemiskinan tidak dapat ditoleransi sehingga setiap kebijakan dan program pembangunan harus memberi manfaat pada mereka yang paling miskin dan paling kurang sejahtera. Inilah pembangunan generasi mendatang sekaligus memberikan jaminan sosial bagi mereka yang paling miskin dan tertinggal.
Dalam hal Pancasila sebagai suatu pandangan hidup maka sila-silanya merupakan sudut-sudut pandang atau aspek-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
1. Ketuhanan Yang Maha Esa; merupakan aspek spiritual,
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab; merupakan aspek kultural,
3. Persatuan Indonesia; merupakan aspek politikal,
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan aspek sosial,
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; merupakan aspek ekonomikal.
Kelima sila tersebut tidak dapat berdiri sendiri-sendiri melainkan tersusun secara hirarkis dan berjenjang yaitu sila pertama meliputi sila kedua, sila kedua meliputi sila ketiga, sila ketiga meliputi sila keempat dan sila keempat meliputi sila kelima. Atau sebaliknya dapat dikatakan sila kelima merupakan derivasi sila keempat, sila keempat merupakan derivasi sila ketiga, sila ketiga merupakan derivasi sila kedua dan sila kedua merupakan derivasi sila pertama (Prof. Dr. Notonegoro).
Dengan demikian maka ekonomi Pancasila telah mengandung seluruh nilai-nilai moral Pancasila dan mengacu pada seluruh aspek kehidupan sila-sila dari Pancasila.
Sesuai gambar grafis superposisi pembagian kekuasaan antara negara dan rakyat tersebut diatas, maka ekonomi Pancasila mewujud dan terdiri atas tiga pilar sub sistem, yang pertama merupakan pilar ekonomi negara yang berfungsi untuk mendukung penyelenggaraan tugas negara dengan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, (negara kuat), dengan tugas pokok antara lain untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kemudian yang kedua pilar ekonomi rakyat yang berbentuk koperasi (sharing antara negara dan rakyat) dan berfungsi untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, (home front kuat), dengan tugas pokok mewujudkan kehidupan layak bagi seluruh anggotanya. Dan yang ketiga adalah pilar ekonomi swasta yang berfungsi sebagai struktur ekonomi yang berbasiskan kemandirian masyarakat.
Pola pengelolaan dari masing-masing pilar ekonomi tersebut berbeda dan membutuhkan kemampuan para pelaksana secara profesional agar hasilnya menjadi optimal sesuai dengan kebutuhan, tetapi tetap mendasarkan kerjanya pada prinsip efisiensi, efektifitas dan produktivitas kerja pada masing-masing pilar. Masing-masing pilar mempunyai pangsa pasar sendiri-sendiri meskipun tidak tertutup kemungkinan untuk saling kerjasama dan saling bantu tanpa merugikan salah satu fihak.

Ekonomi Dalam Islam
Masyarakat dunia saat ini sedang melewati masa yang paling kritis ditengah sistem kontemporer yang hampa nilai dan bebas nilai yaitu faham kapitalis dan sosialis yang selalu kontradiksi secara pemikiran. Islam merupakan agama yang lengkap dengan nilai-nilai kehidupan. Dalam Islam mencakup segala aspek kehidupan termasuk aspek ekonomi yang bersumber pada nilai-nilai ketauhidan-nya, yang mana terdapat keseimbangan, keadilan, kebebasan dan pertanggungjawaban. Ekonomi Islam memberikan pandangan tentang sebuah sistem ekonomi yang adil, sehingga doktrinitas ekonomi Islam memuat nilai-nilai instrumental dan norma-norma operasional untuk diterapkan dalam pembentukan lembaga-lembaga ekonomi masyarakat yang berorientasi pada kesejahtraan umat.
membangun sebuah sistem ekonomi dibutuhkan sebuah konsep tentang ilmu ekonomi, sehingga perangkat ilmu tersebut dapat mengetahui gejala-gejala sosial yang akan terjadi dapat diprediksikan. Membangun ilmu diperlukan landasan filsafatnya dalam tiga kerangka yaitu, ontologi, epistemologi dan aksiologi. Tahapan yang pertama kita akan menemukan nilai-nilai asumtif, yang dapat digunakan untuk mengisi landasan pembangunan ekonomi. Nilai-nilai asumtif itu hendaknya diyakini sebagai kebenaran mutlak, tidak meragukan dan menjadi petunjuk bagi kehidupan ekonomi manusia didunia. Dan tahapan yang kedua epistemologi yang memerlukan pijakan empirik sebagai sumber keabsahan teori ilmu yang dikembangkan. Pijakan empirik ini dapat ditemukan dalam sejarah umat manusia atau dapat digali dari pengalaman hidup beragama dari bangsa kita yang mayoritas muslim. Dari kajian kedua hal tersebut, secara religius filsafat mencoba menggali nilai-nilai dasar instrumental dalam Islam dan secara empiris mengambil bahan kajian dari realitas masyarakat muslim, maka kehidupan ekonomi pancasila tidak mustahil akan dapat dibangun dalam arti yang sebenarnya.
Dalam Islam yang ditegaskan dalam Al-Qur’an bahwa riba merupakan perbuatan yang dilarang dalam Islam, dimana riba ditafsirkan sebagai eksploitasi kapitalistik dan pengekalan ketidak adilan ekonomi melalui bunga atau memeras tenaga buruh. Hal ini menunjukan bahwa didalam ekonomi industrial moder, akar pesoalan ketimpangan kaya dan miskin, kemiskinan dan ketidakadilan ekonomi adalah eksploitasi yang kapitalistik. Dari sini jelas bahwa sistem kapitalis sangat ditentang dalam ajaran islam.

Gerakan Koperasi Melawan Kapitalisme
Pada dasarnya rakyat Indonesia memang bukan “homo ekonomikus” melainkan lebih bersifat “homo societas”, lebih mementingkan hubungan antar manusia ketimbang kepentingan materi/ekonomi,³ contoh : membangun rumah penduduk dengan sistim gotong-royong (sambatan). Akibatnya di dalam sistem ekonomi liberal orang asli Indonesia menjadi termarginalkan tidak ikut dalam gerak operasional mainstream sistem ekonomi liberal yang menguasai sumber kesejahteraan ekonomi sehingga sampai kapanpun rakyat Indonesia tidak akan mengenyam kesejahteraan.
Pembangunan kesejahtraan ekonomi yang dapat diterapkan pada masyarakat Indonesia adalah sistem ekonomi yang bersifat kekeluargaan bagi setiap pelaku ekonominya yaitu, koperasi yang dapat mensejahtrakan anggotanya atau masyarakat itu sendiri. Seperti yang ditegaskan pada Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan.
Lembaga ekonomi yang berbentuk koperasi ini menjadi alat dalam melawan kapitalisme karena sudah jelas bahwa koperasi ini terbentuk melalui kerja sama dan tidak memandang status ekonomi masyarakat. Dengan demikian pemodal tidak lagi dipercaya oleh masyarakat karena ada pembedaan status antara pemodal dan rakyat biasa. Koprasi ini pula akan menumbuhkan daya kreasi masyarakat indonesia dan akan mengarahkan serta membina masyarakat dalam memperbaiki perekonomian yang berdasarkan atas kemandirian.

AGAMA DALAM BINGKAI SEJARAH


Fakta sejarah mengungkapan bahwa sebagian besar peradaban dunia yang tumbuh dan berkembang di muka bumi ini pada awalnya dimotivasi oleh sebuah keyakinan agama. Hal ini terbukti dari monumen-monumen bersejarah seperti piramid dimesir, candi borobudur di jawa tengah, ka’bah di mekah dan banyak lagi bangunan-bangunan bersejarah yang menandakan bahwa dahulu terdapat suatu peradaban besar yang di topang keras oleh keyakinan agama.

Agama Islam, Yahudi dan Kristen seperti yang kita ketahui bersama adalah agama yang diyakini berasal dari langit atau sering kita sebut sebagai agama-agama samawi. Pengertian secara sederhana agama samawi adalah agama yang memiliki wahyu dari para nabi-Nya. Seperti halnya agama Islam yang secara geneologi diawali ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu Allah melalui perantara malaikat Jibril di Gua Hira pada abad ke 7 Masehi. Pewahyuan itu berlangsung secara terus-menerus selama 23 tahun yang kemudian wahyu-wahyu itu di kumpulkan dan di abadikan dalam bentuk teks yang bernama Al-Qur’an yang merupakan kitab suci agama Islam.

Wahyu Al-Qur’an yang berbahasa arab mengisyaratkan bahwa Allah secara implisit telah memasuki perantaraan sejarah dan terdapat kaidah-kaidah sejarah didalamnya yang bersifat kultural-empiris, sehingga dengan demikian bahwa bahasa arab ini memiliki sifat patrikular, namun pesannya bersifat universal karena ajaran Islam ditujukan  kepada seluruh umat manusia sebagai agama yangrahmatan li al-alamin. Oleh karena itu sifat lokalitas yang muncul pada ranah bahasa dan budaya arab  sebaiknya dipahami sebagai bukti dan wadah yang bersifat instrumental-historis. Pesannya yang universal dan fundamental harus selalu digali dan di formulasikan kedalam ranah bahasa dan budaya non-arab, sehingga eksklusivisme bahasa dan budaya arab bukan sebagai penghalang penyebaran islam, akan tetapi sebagai penyimpan dan penjaga kemurnian ajaran Islam.
Dengan pemahaman diatas maka ketika seseorang melakukan penerjemahan dan penafsiran dalam memahami sebuah teks Al-Qur’an, maka secara tidak langsung yang bersangkutan juga melakukan penafsiran dan menulis ulang sebuah teks, hanya saja pada level mental (logika). Hal ini dikarenakan teks Al-Qur’an hanyalah salah satu aspek dari realitas kehidupan beragama, pemahaman agama yang hanya menyandarkan pada otoritas teks tanpa memahami dan mengapresiasikan konteks psikologis, social dan demografis  dimana teks Al-Qur’an itu dilahirkan maka, dimensi universalnya akan terkalahkan oleh dimensi tekstualnya sehingga pemahamannya terhadap Islam lebih bersifat patrikularistik.

Ada tiga dimensi dalam memahami kehidupan beragama selain dari pandangan kita terhadap kajian teks, Pertama : dimensi personal yaitu agama yang memberikan acuan hidup seseorang secara pribadi untuk memberikan makna bagi setiap  tindakan dan peristiwa baik pada saat suka maupun duka, untuk mengarahkan pada makna dan tujuan hidup yang sebenarnya. Kedua : dimensi cultural, mengingat suatu agama tumbuh dan berkembang melalui dinamika kultur, sehingga dimensi cultural akan mewarnai seseorang atau masyarakat untuk mengekspresikan nilai-nilai keagamaannya. Ketiga : dimensi ultima, yang merupakan dumensi yang mengacu pada sesuatu yang absolute, kesadaran ini akan membedakan tindakan seseorang layak atau tidaknya secara religious dari sebuah ekspresi cultural.

Dengan demikian penting kiranya kita sadari bahwa dalam studi keagamaan tidak cukup hanya tertuju pada studi terhadap teks-teks keagamaan saja akan tetapi lebih dari itu yaitu kajian budaya atau tradisi, sehingga mau tidak mau harus melibatkan metodologi ilmu-ilmu social lainnya. Dalam Islam terdapat ajaran baku yang diyakini sama, namun pada level penafsiran dan tradisi akan ditemukan keberagaman, bahkan keberagaman ini telah melembaga kedalam sebuah mazhab baik dalam filsafat, fiqh, politik, maupun cabang ilmu ke-Islaman lainnya. Salah satu kekuatan yang mengikat keberagaman tersebut adalah pesan tauhid dan keontentikan teks.

Berbicara Tauhid dalam agama Islam tidak terlepas dari kalimat persaksian (syahadat), format syahadat yang begitu pendek dan sederhana akan tetapi dampaknya sangatlah luar biasa, karena syahadat adalah sebuah pernyataan persaksian dan manifesto Tahuid yang secara sadar akan mempengaruhi cara berfikir dan cara hidup seseorang dalam memandang dunianya. Ajaran Islam, <span>sikap percaya (iman) selalu dikaitkan dengan sikap kritis</span> sehingga kalimat syahadat-nya sangatlah filosofis. Pertama kita diajak menegaskan “tidak ada tuhan” yang patut kita sembah, kita diajak untuk berempati dengan faham ateisme[1] dan kemudian kita dituntut membangun argumentasi rasional dengan bimbingan wahyu (Al-Qur’an) untuk sampai menemukan Tuhan yang patut disembah. “Tiada tuhan kecuali Tuhan” yang sebenarnya yaitu Allah SWT. Dengan demikian iman merupakan prodak nalar dan hati yang diterangi oleh wahyu atau bisa juga dibalik bahwa iman adalah ajaran wahyu yang diterima secara rasional.

Selain itu sosok rasul Muhammad sang pembawa ajaran adalah figur sejarah yang transparan, perjalanan hidupnya tidak di tutupi oleh misteri dan spekulasi. Secara social-historis salah satu prestasi mencolok dari Muhammad adalah kemampuannya menciptakan kohesi dari berbagai suku yang sedemikian beragam dari Madinah ke Spanyol dan Turki. Konsep tauhid yang sederhana dan mudah dicerna serta karakter keterbukaan Islam untuk menerima symbol dan elemen kultur merupakan sebuah media ekspresi dan penyangga pesan dan eksistensi Islam.

Puncak-puncak kejayaan Islam pada masa lalu di sandarkan pada prinsip dan semangat tauhid sehingga watak peradaban Islam pada dasarnya bersifat inklusif, toleran dan keterbukaan terhadap inovasi dan pengembangan intelektual keislaman, karena Islam dalam hal ini sangat menghormati penalaran dan eksplorasi ilmiah. Dengan karakter tersebut secara menakjubkan Islam telah terbukti mampu menyulap wilayah Arabia yang semula gersang menjadi mata air peradaban Islam yang tetap berkembang hingga sekarang. Bukti nyatanya dapat kita lihat betapa banyak ilmuan kelas dunia pada saat itu yang lahir dari inspirasi dunia Islam seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Sina, Al Farabi mulla sadra dan yang lainnya. Mereka turut memberikan sumbangan besar dalam menghantarkan lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi modern barat saat ini.

Namun sangat disayangkan sejarah Islam hari ini hanyalah tinggal sejarah sehingga muncul Pertanyaan di benak umat Islam hari ini, mengapa hari ini islam gagal dalam menghantarkan lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi modern sebagaimana yang berkembang di Eropa barat? Salah satu penyebabnya adalah umat Islam tidak mampu membangun institusi riset yang besar dan independent yang mengabdi pada ilmu terapan. Hal ini dikarenakan kuatnya peradaban teks dan kekuasaan ulama-ulama yang lebih mengedepankan ritual dan kekuasaan ketimbang membangun peradaban, sehingga mereka telah menyia-nyiakan aset intelektual yang luar biasa yang pernah dimiliki oleh dunia Islam. Misalnya saja teknologi sederhana seperti kompas, ketika kompas berada di tangan ulama hanya digunakan untuk menentukan arah kiblat, sedangkan ketika kompas ditangan orang-orang Eropa digunakam untuk berani berlayar keliling dunia mengarungi lautan. Kemudian ilmu falak atau ilmu astronomi, jika di Islam ilmu falak hanya digunakan ulama untuk menentukan kapan datangnya Ramadan, sementara dibarat ilmu ini di gunakan sebagai modal untuk melakukan petualangan luar angkasa.

Karena sebab diataslah kemudian Islam mengalami stagnasi dalam membangun peradaban modern bahkan hari ini umat Islam jauh tertinggal dari barat secara ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian maka secara tidak langsung umat islam telah menelantarkan proyek besar islam untuk mewujudkan janjinya sebagai ummat yang terbaik dan unggul dalam peradaban seperti yang telah dijelaskan dalam  Al-Qur’an surat 3 : 150 yang menyatakan bahwa “engkau telah menjadi umat terbaik yang telah di munculkan untuk umat manusia, seraya menganjurkan kebaikan dan melarang keburukan dan yang percaya pada Tuhan

Selanjutnya Konsep hablumminallah dan hablumminannas mengisyaratkan terdapat dua ajakan dari ajaran Islam yang sangat fundamental yang pertama yaitu Hablumminallah (hubungan manusia dengan tuhan) yang mengajak manusia untuk melakukan trasnsendensi[2] diri untuk menemukan sesuatu “yang lebih” yang berada diluar realitas historis-empiris yaitu Tuhan. Dan yang kedua adalahHablumminnannas (hubungan manusia dengan manusia) yaitu ajakan atau doktrin tentang tanggung jawab social untuk senantiasa membantu orang lain dalam rangka menciptakan masyarakat yang sejahtera.
Demikianlah wahyu Ilahi memanggil nurani dan penalaran kritis kita sebagai manusia untuk bekerja memberikan pencerahan kepada masyarakat sehingga contoh sejarah yang sesungguhnya telah dipaparkan dan di amanahkan Tuhan pada manusia. Jika kita cermati teks Al-Qur’an maka Tuhan berulang-ulang kali menggunakan kata “Kami” ketika menjelaskan proses perubahan social yang oleh para ahli tafsir dipahami bahwa Tuhan melibatkan manusia dalam mendesain arah sejarah hamba-hamba-Nya. Dengan demikian muncul pertanyaan kemanakah arah sejarah dan dimana peran agama? Jawabannya lagi-lagi dikembalikan pada manusia sendiri karena instansi dan pengguna jasa terakhir agama dan peradaban adalah manusia itu sendiri. Tuhan telah menetapkan takdir-takdir Nya, yaitu formula sebab-akibat yang berlaku pada prilaku alam maupun kehidupan manusia dan dengan modal kebebasan yang dimiliki manusia tampil mendesain dan mengendalikan bekerjanya takdir Tuhan.


[1]  Faham Ateisme adalah sebuah faham yang tidak mempercayai adanya Tuhan.
[2]  Transendensi adalah kemampuan menerobos keluar dari yang membelenggu kefanaan lalu mendekat dan berserah diri (islam) pada penciptan-Nya (Tuhan)

BISNIS PENDIDIKAN


Pengetahuan dalam bentuk komoditi…….menjadi tiang utama dalam persaingan kekuasan dunia”
 (Jean F.Lyotard)
   
Wacana tentang penolakan kapitalisme pendidikan kerap kali muncul di permukaan publik, wacana ini merupakan kritik social terhadap dunia pendidikan, terutama di Indonesia yang system pendidikannya sering dijadikan ajang pencarian keuntungan atau “pengkapitalisasian pendidikan”. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya kasus tentang  anak yang putus sekolah dengan alasan orang tua-nya tidak dapat membayar biaya pendidikan yang terlalu mahal. Padahal dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 31 menyatakan bahwa mendapatkan pendidikan adalah hak bagi setiap warga Negara. maka wajar saja jika wacana tentang kapitalisme pendidikan ini tidak pernah basi untuk diwacanakan di ruang publik, sampai akhirnya hak warga Negara tentang pendidikan diberikan oleh Negara. Dalam hal ini Negaralah yang memiliki kewajiban untuk memberikan hak pendidikan kepada setiap warga negaranya.

Dunia pendidikan yang semestinya dibangun berdasarkan nilai-nilai objektivitas, keilmiahan dan kebijaksanaan kini kerap dimuati oleh nilai-nilai komersial. Hal ini dapat dijadikan sebuah refleksi dari keberpihakan dunia pendidikan pada kekuasaan kapital. Sehingga ketika pendidikan menjadi bagian dari kapitalisme, maka berbagai paradigma, metode dan teknik-teknik yang dikembangkan didalamnya menjadi sebuah cara untuk memperkuat hegemoni kapitalisme. Dengan demikian pengetahuan tidak saja menjadi sebuah alat untuk mencari keuntungan akan tetapi juga di produksi sebagai komoditi untuk diperdagangkan dalam rangka memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.

Pengetahuan dalam dunia pendidikan yang dijadikan komoditi ini berkembang sejak ditandatanganinya kesepakatan GATT yang menyatakan bahwa dunia secara global harus memihak pada kepentingan pasar. Hal iu dilakukan demi membuka peluang bagi Trans National Corporation (TNCs) untuk ekspansi, salah satu usaha strategis mereka adalah mempengaruhi Negara-negara berkembang untuk melicinkan “jalan” bagi TNCs untuk beroperasi. Mekanisme dan proses globalisasi ini diperjuangkan melalui actor utama globalisasi yakni bank dunia / IMF melalui kesepakatan WTO yang sesungguhnya dilandaskan pada suatu ideology libelarisme. Paham inilah yang menurut Mansour Fakih berusaha untuk membatasi peran pemerintah dan lebih memberikan kesempatan bagi perusahaan-perusahaan swasta untuk menjadi actor dalam bidang ekonomi dibawah situasi persaingan bebas yang diciptakan oleh gagasan “Pasar Bebas”. Akibat dari pendirian pasar bebas inilah berpengaruh pada visi pendidikan yang memaksakan komodifikasi pendidikan terjadi.
Komodifikasi pendidikan tersebut di tandakan oleh Darmaningtyas dalam sebuah kasus bahwa setiap tahun -nya siswa yang mengenyam pendidikan dari SD sampai SMTK rata-rata 37 juta siswa, ini merupakan peluang pasar bagi perusahaan-perusahaan swasta seperti penerbit buku pelajaran, alat-alat tulis, seragam sekolah dan lain sebagainya. Sehingga lembaga pendidikan dan perusahaan-perusahaan tersebut bekerja sama untuk berbisnis kebutuhan-kebutuhan siswa tersebut, perbisnisan ini merupakan salah satu penyebab kenapa pendidikan kita mahal dan merupakan salah satu bentuk dari komodifikasi pendidikan.

Selanjutnya jika kita perhatikan dari beberapa institusi-institusi perguruan tinggi negri di Indonesia, setiap pergantian tahun ajaran baru institusi-institusi pendidikan tersebut dihadapkan dengan proyek besar yang dapat menghasilkan keuntungan yang berlimpah. Keinginan calon mahasiswa yang akan masuk dalam perguruan tinggi negri tersebut perupakan peluang pasar pagi para elit kampus Ujian masuk atau UM pada perguruan tinggi negri mempunyai sarat mutlak bahwa calon mahasiswa yang ingin masuk Perguruan tinggi tersebut diwajibkan untuk menyumbang, dan yang ironisnya lagi yang menjadi standar diterimanya calon mahasiswa di lihat dari seberapa besar sumbanganya bukan pada kualitas calon mahasiswa. Maka wajar saja jika penulis menyebutnya itu sebuah proyek tahunan institusi perguruan tinggi negri, karena persaingan jumlah sumbangan yang diberikan dari calon mahasiswa akan menguntungkan para elit kampus saja. Dengan demikian calon mahasiswa yang tidak punya uang tidak dapat kuliah di perguruan tinggi negri walaupun secara kualitas ia lebih unggul dibandingkan calon yang memberikan sumbangan besar, alhasil dia tidak dapat melanjutkan studinya karena lagi-lagi tidak dapat membayar biaya pendidikan yang terlalu mahal.
Sistem yang dibangun oleh kapitalisme pada dasarnya dibangun dengan prinsip persaingan yang didalamnya mempunyai kehendak untuk menguasai dan mendominasi.

Dari kedua fenomena diatas jelas bahwa pendidikan saat ini sudah dijadikan ajang bisnis untuk memperoleh keuntungan. Kemudian yang menjadi pertanyaan kita adalah apa arti dari pasal 31 UUD 1945 tersebut jika ternyata realitas yang terjadi dalam dunia pendidikan hanya dapat dinikmati oleh “sikaya” saja yang mampu untuk membayar biaya pendidikan? lalu dimanakah hak kita sebagai warga Negara dalam masalah pendidikan?  Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas perlu perenungan, pengkajian dan pemahaman bersama tentang wacana-wacana pendidikan yang menurut penulis harus!

RELEVANSI ILMU MATEMATIKA DALAM KEHIDUPAN


Sudah menjadi fakta bahwa ilmu matematika memiliki peranan penting dalam kemajuan sains dan teknologi. Hal ini terlihat dari berbagai teknologi modern dirancang dengan perhitungan matematis, sebagai upaya mendapatkan system, desain dan metode dalam menciptakan sebuah teknologi. Belum lagi jika kita lihat kurikulum pendidikan yang dikategorikan sebagai pendidikan eksata seperti teknik, kedokteran, pertanian dan sebagainya, pasti mempunyai materi dasar yang mengasah logika matematika. Dengan demikian jelas bahwa salah satu pendukung dalam penciptaan teknologi adalah penguasaan terhadap ilmu matematika.
Akan tetapi ironisnya matematika termasuk pelajaran yang banyak tidak disukai oleh kebanyakan siswa maupun mahasiswa. matematika seolah-olah momok menakutkan yang kalau bisa ingin dihindari, tidak sedikit mengatakan bahwa matematika membuat pusing dan stres. Pandangan seperti inilah yang kemudian menjadi mitos di masyarakat bahwa matematika hanya membuat pusing dan stress, jika dalam masyarakat sudah tertanam mitos seperti ini bagaimana dengan perkembangan teknologi yang harus diciptakan melalui proses perhitungan-perhitungan secara matematis?.
Pada dasarnya semua orang dilahirkan dengan membawa bakat matematika pada taraf tertentu. Dengan demikian berarti bahwa setiap orang mempunyai kemampuan untuk mempelajari dan menggunakan matematika, paling tidak dalam kehidupan sehari-hari. Seperti misalnya jika kita ingin mengukur atau menghitung sesuatu benda, kita pasti menggunakan logika matematika. Melaui pendidikan formal (SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi) kemampuan ini dikembangkan dan diasah dengan mempelajari bidang-bidang lain dari matematika seperti Aritmatika, Aljabar, Kalkulus, Geometri dan lain sebagainya sehingga dengan belajar matematika seseorang akan sedikit banyak akan terbentuk orang yang mampu berfikir logis, sistematis dan objektif. Kemampuan seperti ini sangat dibutuhkan bagi para ilmuwan.

Matematika Murni dan Terapan
            Sebelum tahun 1960-an matematika dibedakan menjadi dua yaitu,pertama : matematika murni yang dianggap sebagai ratu (Queen) dari sains yang hidup diatas menara gading atau tidak mengenal ilmu lain karena meng-abstraksikan diri. Kemudian yang kedua : matematika terapan yang berperan sebagai pelayan bagi ilmu-ilmu lain (B.Susanto. 2004).
            Akan tetapi sejalan perkembagan jaman, matematika murni hidup karena tantangan dari ilmu lain yang membutuhkannya. Sehingga keterkaitan antara ilmu matematika murni dan ilmu matematika terapan lahir dalam wajah baru seperti biokimia, agroekonomi, ekonometri, psikometri atau bidang ilmu psikologi yang sarat dengan metode kuantitatif dalam statistika, kimia komputasional dan sebagainya. Semua ditopang berdasarkan model matematis yang kuat.
            Saling keterkaitan ini juga timbul diantara bidang-bidang matematika termasuk ilmu computer, misalnya geometri fractal (kerjasama ilmu geometri transformasi, analisis dan ilmu computer dan lain sebagainya.

Aplikasi Matematika dalam Kehidupan
            Setiap hari sebenarnya kita tidak terlepas dari perhitungan-perhitungan matematis, akan tetapi secara tidak sadar kita jarang berfikir bahwa matematika selalu hadir dalam keseharian kita. untuk mengawali pengenalan aplikasi matematika, marilah kita amati keadaan disekitar kita ! apakah ada matematika disana?
            Ketika kita duduk di sebuah kursi yang berkaki yang lantainya bergelombang mungkin tidak akan stabil, akan tetapi jika kita duduk kursi berkaki tiga akan stabil meskipun lantainya bergelombang. Mengapa ? salah satu aksioma geometri Euclides berbunyi “ melalui tiga titik yang tidak segaris dapat dibuat satu bidang”, hal inilah yang dibahas dalam matematika bahwa jika kita ambil empat titik sembarang, tidak ada jaminan keempatnya akan sebidang. Dari metode matematis tersebut wajar jika kursi yang berkaki empat tidak akan stabil pada tanah yang bergelombang.
            Perlu kita cermati juga pada saat kita mencari jejak (permainan dalam pramuka), yaitu pada saat kita berhenti ditepi jalan setapak dan melihat ada tiga tumpukan batu dan sepotong ranting terjepit diantara batu tersebut. pasti kita akan tanggap dan berbelok menuju arah yang ditunjukan rantng sejauh sejauh 300 meter (sesuai dengan kesepakatan dalam pramuka). Salah satu contoh ini merupakan cara dalam system kordinat kutub untuk menentukan letak titik dalam bidang pada matematika. Penggunaan system kordinat kutub ini juga dapat kita jumpai dalam system radar.
            Itulah mungkin contoh sederhana (diambil dalam majalah Basis) bahwa matematika selalu hadir dalam keseharian kita. dan semoga dari contoh diatas kita dapat mengenal terapan matematika disekitar kita secara luas pada ilmu terapan matematika yang lain seperti fisika, teknik, kimia dan biologi yang sudah lama kita kenal.


Mengenal Psikoanalisis Jaques Lacan


I.        Pendahuluan
Psikoanalisis dalam pengertian secara harfiah adalah ilmu yang mengurai tentang “diri” manusia[1], dan merupakan aliran dari psikologi modern, bapak pendirinya yaitu Sigmund Freud. Gagasan tentang diri menurut kaum humanis barat di definisikan dengan beroperasinya kesadaran (seperti berfikir, kehendak bebas, tindakan dan sebagainya) akan tetapi menurut Freud dengan psikoanalisisnya menyatakan bahwa konsep tentang diri (kesadaran) dideterminasi atau dipengaruhi oleh ketaksadaran dan berbagai dorongan dan hasratnya sehingga ia membagi dua wilayah kesadaran dan ketaksadaran itu menjadi sesuatu yang radikal.
Gagasan-gagasan Freud inilah yang kemundian berkembang menjadi suatu aliran dalam psikologi modern, sehingga di Prancis Jaques Lacan yang berprofesi sebagai psikoanalisis pada tahun 1950 mengembangkan pandangan Psikoanalisisnya dengan didasarkan pada berbagai gagasan yang diartikulasikan dalam antropologi dan linguistic strukturalis. Lacan mencampur adukan teori Freud dan Saussure (Linguistik) bahkan Lacan juga dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filsafat Heidegger, Levi Strauss dan Derrida. Dari hasil “perenungan” Lacan tentang Psikoanalisis dia menginterpretasikan Freud menggunakan teori strukturalis dan postrukturalis, Lacan kemudian mengalihkan psikoanalisis yang secara hakikatnya bersifat humanis menjadi menjadi teori atau filsafat psikoanalisis.
Psikoanalisis Lacanian mempunyai dua garis besar yaitu fenomenologi dan strukturalisme. Jika dalam fenomenologi menekankan pada konsep diri yang bebas, kemudian strukturalisme menekankan pada determinisme bahasa. Lacan menggunakan strukturalisme tetapi tidak pernah “menyangkal subjek”, oleh karena itu konsep diri tidak terelakkan dari psikoanalisis lacanian, sementara strukturalisme menjadi cara pembahasannya.

II.      Kesadaran dan Ketaksadaran
Jika Freud mengatakan bahwa “dimana ada id disitu ada sang Aku (ego)” yang berarti id yang dalam hal ini ketaksadaran akan digantikan dengan sang Aku (kesadaran), menurut Lacan itu mustahil, karena bagi lacan sang Aku (ego) hanyalah ilusi, manifestasi dari ketaksadaran itu sendiri, sehingga lacan menegaskan bahwa ketaksadaran adalah bagian dari seluruh kehidupan.
Inti dari konsepsi tentang diri manusia menurut pandangan Lacan adalah gagasan bahwa ketaksadaran yang mengatur seluruh factor eksistensi manusia secara tersetruktur seperti bahasa, dia melandaskan pandangan ini pada uraian Freud tentang dua mekanisme utama dari berbagai proses ketaksadaran, kondensasi dan pemindahan, sehingga menurut Lacan pada hakekatnya kedua mekanisme ini merupakan fenomena bahasa.
Hal diatas dibuktikan oleh Lacan bahwa analisis mimpi Freud dan kebanyakan analisisnya yang merupakan symbol dari ketaksadaran bergantung pada permainan kata-kata, asosiasi dan bersifat verbal, dengan demikian Lacan menyimpulkan bahwa isi dari ketaksadaran sepenuhnya sadar akan bahasa dan secara khusus terdiri dari struktur bahasa. Lacan menyebutkan hal tersebut dengan Transalasi Linguistik atas gambaran Freud akan ketaksadaran sebagai wilayah chaotic[2] yang secara terus-menerus menggeser dorongan dan hasrat.

III.    Mekanisme Pembentukan “Diri”
Dalam teori Freud tentang tahap perkembangan psikoseksual mengatakan terdapat tiga tahapan polimorfosa pada bayi yaitu oral, anal, dan phallic, inilah kompleks Oedipus dan konsep kastrasi yang mengahiri perversitas polimorfosa dan menciptakan mahluk “dewasa”.
Akan tetapi Lacan menciptakan kategori berbeda dengan Freud untuk menjelaskan lintasan atau tahapan dari bayi menuju dewasa. Dia membahas tentang tiga konsep yaitu kebutuhan (need), permintaan (demand), dan hasrat (desire) yang berhubungan dengan tiga fase perkembangan atau tiga ranah dimana manusia berkembang, yaitu ;
1.      Fase Pra-Oedipal
Dalam fase ini, subjek (bayi) sama sekali belum mengenal batasan ego atau dirinya. Ia tak menyadari batasan antara tubuh ibunya dengan tubuhnya sendiri. Bayi dan ibu masih merupakan kesatuan sehingga identifikasi belum terjadi pada fase ini. Menurut Lacan bayi yang belum memiliki pemisahan ini hanya memiliki satu kebutuhan yang dapat dipuaskan dan tidak membuat perbedaan antara dirinya dengan objek yang memuaskan kebutuhannya sehingga eksis diwilayah Yang Real.
2.      Fase cermin atau tatanan Imajiner
Fase ini merupakan bentuk praverbal yang logikanya bersifat visual. Fase ini terjadi pada bayi berusia 6 bualan dan merupakan fase paling krusial untuk identifikasi perkembangan ego. Misalkan jika kita anak kecil memperhatikan dirinya sendiri dalam sebuah cermin[3]. Ketika anak tersebut bercermin dirinya yang ada dicermin tersebut bersifat imajiner, karena yang ada didalam cermin tersebut hanya merupakan image. Saat itulah si anak mulai belajar untuk menciptakan konstruksi dirinya. Kemudian ketika dewasa dia akan terus membuat identifikasi imajiner dengan objek-objek yang ditemuinya. Menurut Lacan ini merupakan fase normal dalam perkembangan diri.
3.      Fase Oedipal atau Tatanan Simbolik
Fase ini terjadi ketika si anak harus berpisah dengan ibunya atau harus mengalami kastrasi. Anak tak lagi melihat dirinya satu kesatuan dengan ibunya tetapi memandang ibunya sebagai Liyan. Hubungan si ibu dengan si anak ini juga diperparah oleh kehadiran ayah, ayah disini bersifat metafora. Anak harus kehilangan objek hasratnya, yaitu ibu karena ia harus menerima kehadiran “ayah simbolik”. Anak harus mengikuti apa yang dikehendaki oleh ibunya, yaitu menyerap bahasa, penanda-penanda. Dengan demikian anak harus menerima mekanisme imaji diri lain yang kerap bersifat reppresif (super ego),yang fungsinya menerima dan mencerna image diluar diri, berupa representasi dari berbagai versi hukum, aturan, konvensi, adat, tabu dan lain-lain yang diidentifikasikan dengan dirinya sendiri, inilah yang disebut dengan “symbol ayah”. Secara singkat proses ini dilahirkannya kembali anak-anak dalam bahasa. Proses pembentukan ini di transliterasikan Lacan ke dalam fenomena linguistic yang ia pandang sebagai hasil penemuan Atas-Nama-Ayah. Lacan menganggap masa belajar anak telah mengalienasi psyche (jiwa) tetapi sadar tidak mungkin kembali ketahap jiwa praverbal, subjek ditentukan oleh bahasa.
Dari ketiga tahap tersebut diatas terdapat satu lagi tatanan selain imajiner dan simbolik, yaitu Yang Real. Yang Real adalah realitas yang tidak pernah kita ketahui-kenyataan ini berada diluar bahasa, suatu realitas yang diasumsikan karena tidak pernah kita ketahui. Struktur ini adalah struktur yang paling problematic dibandingkan dengan dua struktur lain, karena tidak pernah dialami langsung, melainkan melalui mediasi dua struktur yang lain. Singkatnya tatanan yang real adalah realitas, atau apa yang dipersepsi sebagai yang nyata merupakan apa yang mutlak menolak proses simbolisasi.

IV.   Relasi Hasrat dan Ego dalam Psikoanalisis Lacanian
Sigmund Freud menelusuri genesis hasrat dari pengalaman badani antara bayi dan ibunya, karena bayi mengalami ibunya sebagai satu kesatuan sehingga belum ada pembedaan antara intra dan ekstra, tubuhnya dan tubuh sang ibu. Kebutuhan alami seperti menyusui merupakan kebutuhan nutrisi yang menurut Freud akan menjelma menjadi hasrat seksual, hal itu dijelaskan oleh Freud pada saat sang bayi yang menghisap payudara sang ibu, setelah kebutuhan nutrisinya terpenuhi, muncul sebentuk kenikmatan dari tindak menghisap itu sendiri.
Akan tetapi keutuhan imajiner retak saat prinsip realitas mendobrak masuk kedalam jantung pertahanan hasrat, dengan demikian prinsip kenikmatan akhirnya berhadapan dengan keadaan luar. Dengan Egolah kemudian hasrat tak sadar tersebut di selaraskan dengan realitas, sehingga Freud menyimpulkan bahwa hasrat dibawah control rasionalitas ego.
Dari pendapat Freud tentang hasrat tersebut membuat pertanyaan bagi Lacan bahwa kenapa kerapuhan ego terlalu di agung-agungkan oleh para penganut psikologi ego seperti Freud. Lacan menolak ego sebagai sumber kekuatan psikologis, bahkan menekan ketergantungan ego pada hasrat yang menginfiltrasikannya dari medan social. Menurut Lacan Ego tidak dapat membedakan hasratnya dan hasrat orang lain serta cendrung kehilangan dirinya dalam citraan.
Individu menurut Lacan tidak hanya kehilangan kejernihan atas perbedaannya dengan yang lain, tetapi juga mencampur adukkan antara hasratnya dengan hasrat orang lain. Dengan demikian hasrat untuk memiliki identitas mendorong ego untuk meyakini dirinya sebagai objek, sehingga keyakinan ini membuatnya melihat dirinya sebagai objek dari hasrat orang lain atau menhasrati dirinya dengan hasrat yang sama. Sederhananya menurut Lacan jika mencintai orang lain sesungguhnya adalah tindak mental yang narsistik begitupun sebaliknya.
Dari refleksi inilah mendorong para pengikut neofreudian seperti Rene Girard yang memperkenalkan konsepnya hipotesis mimesis[4]. Dua konklusi Girard tentang hasrat dan mimesis, pertama: hasrat tidak di validasi oleh property yang terkandung dalam objek yang dihasrat. Kedua : hasrat sesungguhnya didorong oleh rasa kurang yang perlu dipenuhi. Seorang menghasrati objek bukan kualitas objek itu sendiri melainkan karena orang lain menghasrati objek itu dan mendapatkan keutuhan ontologis darinya. Kita menginginkan mobil tetangga bukan karena kualitas mobil itu, bukan juga kecintaan sang tetangga pada mobil itu melainkan mobil itu memberikan sense of identity pada sang tetangga.
dari kritik psikoanalisis-struktural Jaques Lacan menghasilkan tiga kesimpulan seputar kodrat hasrat pertama ;Hasrat adalah sesuatu yang melampaui biologi, ia bekerja saat kekurangan biologis tercukupi. Kedua Hasrat jauh dari ego cogito, ia adalah syarat yang memungkinkan formasi ego itu sendiri. Ketiga Hasrat dipacu oleh kodrat manusia sebagai mahluk yang berkekurangan secara eksistensial.
Kekurangan eksistensial ini memicu dua jenis hasrat yaitu pertama : Hasrat untuk memiliki (identitas, hasrat ini berkerja pada pengalaman imajiner dan simbolik. Ranah pengalaman yang memberi rasa keutuhan pada kekurangan primordial yang selalu membayangi sang subjek. Kedua: adalah hasrat untuk menjadi, hasrat ini bekerja pada ranah ranah pengalaman Yang Real, Praideologis dan non makana. Ia adalah potensi resistensi yang selalu mengganjal hasrat memiliki dan menunaikan hasratnya yang berujung pada simbolisasi.

V.     Ketaksadaran Dan Bahasa
Menurut Lacan ketaksadaran terstruktur seperti bahasa, karena mekanismenya seperti serupa dengan metafora dan metonimia[5], proses munculnya ketaksadaran dalam pandangan Lacan berbeda dengan Freud. Jika Freud berpandangan bahwa ketaksadaran sudah eksis sebelum bahasa memberikan pengaruhnya. Sedangkan Lacan berpandangan bahwa ketaksadaran terbentuk bersamaan dengan bahasa.
Ketika kata-kata gagal dalam memenuhi janjinya untuk memberikan pemuasan, maka ketaksadaran menyembul keluar menyajikan penampilannya dalam ketakserasian antara bahasa dan hasrat. Hal ini lah yang disimpulkan oleh Lacan bahwa ketaksadaran merupakan hasil dari penstrukturan hasrat oleh bahasa, seolah ketaksadaran tersebut bekerja seperti bahasa yang terdiri dari penanda dan pertanda. Hal itulah yang menjadi mekanisme didalam diri, bahwa bukan semata manusialah yang berkata, tetapi didalam manusialah penanda-penanda berkata.
Dalam hal ini hasrat mempunyai peran penting karena telah memberikan gambaran pada ketaksadaran. Gambaran tersebut mempunyai struktur yang terdiri dari penanda dan pertanda, sehingga hasrat itu sendiri pada dasarnya merupakan efek yang terus-menerus yang diakibatkan artikulasi simbolik, bukan merupakan nafsu tetapi secara esensial bersifat eksentrik dan tidak pernah puas. Inilah alas an Lacan menghubungkan hasrat bukan objek yang akan memuaskan tetapi dengan objek yang menyebabkannya.
Sekedar contoh dari apa yang dijelaskan Lacan diatas adalah mimpi, mimpi merupakan salah satu jalan ketaksadaran tersebut, hal ini dikuatkan oleh Eagleton yang menyatakan mimpi merupakan pemenuhan simbolik atas berbagai keinginan tak sadar dan dibalut dalam bentuk simbolik. Dalam hal ini ketaksadaran menutupi, menghaluskan dan menyimpangkan makna-makna, sehingga mimpi kita bisa menjadi teks-teks simbolik[6].

  
[1] Kamus Ilmiah Populer, Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry.

[2] Wilayah chaotic adalah ketidakteraturan.

[3] Film kartun tentang Harold merupakan contoh yang memudahkan pengambaran fase cermin ini. Ceritanya tentang Harold yang masih balita, sebelum tidur Harold “berjalan-jalan” melalui coretan pensil ajaibnya. Setiap coretan pensilnya misalnya ketika membentuk sebuah jendela, maka jendela tersebut menjadi sungguhan sehingga Harold bias keluar dari kamarnya melalui jendela tersebut. Kemudian Harold menyukai bulan dan iapun menggambar bulan. Karena cahaya bulan tersebut bayangannya muncul tepat didinding di hadapannya, Harold belum mengenal konsep bayangan jadi ia terheran-heran memandangnya. Ia malah menyangka bahwa bayangan tersebut kawannya. Tetapi kebingungan kembali menghadangnya karena apapun yang dilakuannya misalnya menggerakkan tubuh maka bayangan yang disangka kawannya itu selalu sama persis mengikutinya. Dengan berbagai cara Harold berusaha membuktikan mengapa “kawannya” tersebut selalu meniru gerak-geriknya.

[4] Menurut hipotesis ini kendali total ego atas hasrat adalah ilusi, karena manusia adalah mahluk yang tidak tahu apa yang harus dihasrati dan oleh karenannya berpaling ke orang lain untuk menentukan pilihan. Hasrat tidak muncul dari imperative ego, melainkan peniruan hasrat orang lain.

[5] Menurut tokoh formalis Rusia Roman Jakobson menerangkan bahwa terdapat dua operasi utama dalam bahasa manusia yaitu metafora dan metonomia. Metafora adalah subtitusi satu tanda lainya karena adanya kesamaan sedangkan metonomia adalah asosiasi satu tanda oleh tanda lainnya.

[6] Jaques Lacan Diskursus dan Perubahan social, pengantar kritik budaya psikoanalisis. Hal.303.


oleh Sugenk Riyadi 

MEMPERKOKOH BASIC KEILMUAN MENUJU PERKADERAN YANG SISTEMATIS DAN INTEGRALISTIK


HMI Dalam Jejaring Persoalan

Rentetan sejarah panjang dari awal berdirinya HMI tanggal 5 Februaari 1947 pada tahun 70-80an  memberikan “keharuman” nama besar sehingga pada tahun 80-an HMI sebagai sebuah organisasi mahasiswa begitu sangat familiar. Hal ini didasarkan pada eksistensi dan semangat perkaderan HMI pada masa itu, Kelahiran tokoh-tokoh nasional juga dapat dijadikan salah satu alasan bahwa organisasi ini merupakan organisasi yang konsisten dengan perkaderan. Asas keislaman dan peranya sebagai organisasi perjuangan di tandaskan pada komitmen keumatan, kebangsaan dan kemahasiswaan (Tri komitmen HMI) merupakan garapan yang harus dicapai bagi himpunan ini untuk mewujudkan cita-cita mulia HMI.
Seiring dengan derasnya arus global dan kondisi social masyarakat kini HMI dihadapkan dengan tantangan yang begitu besar baik dalam internal maupun eksternal organisasi. Pada realitas yang demikian ini hendaknya HMI selalu cerdas dalam menjawab semua tantangan-tantangan tersebut. Tantangan internal yang kini dihadapi adalah semakin melemahnya daya intelektualitas kader HMI, semakin menurunnya dimensi nilai-nilai keislaman kader, serta kurang pahamnya aparatur-aparatur organisasi HMI tentang fungsi dan perannya sebagai organisatoris dalam stuktur HMI (dalam hal ini Pengurus). Belum lagi dengan tantangan eksternal yang semakin kompleks, menurunnya minat mahasiswa untuk berorganisasi, kecendrungan kampus yang membuat ruang gerak mahasiswa semakin sempit, serta pengaruh budaya global yang mengarahkan semua individu untuk bersikap individualistic.
Oleh karena itu untuk menjawab tantangan “frontal” tersebut menurut Prof. Dr. Agusalim Sitompul seorang sejarahwan HMI mengatakan bahwa diperlukannya kesadaran kolektif dari person-person anggota HMI dan pengurus secara simultan. Untuk menciptakan kesadaran simultan simultan itu maka Nilai dasar Perjuangan (NDP) HMI, 5 kualitas insane cita HMI dengan 17 indikatornya, 5 ciri kader HMI, 8 macam karakter/kekuatan HMI yang terdapat dalam konstitusi HMI harus diaktualisasikan dalam diri masing-masing kader. Dengan demikian pemberdayaan setiap kader HMi akan tumbuh dengan subur sehingga akan membentuk kekuatan besar dengan semangat kebersamaan untuk membangun kembali HMI seperti halnya pada tahin 70 – 80an.

Agenda Perubahan Berawal Dari Komisariat
Jika hal diatas disadari bagi semua elemen yang ada dalam tubuh HMI maka selanjutnya yang menjadi pemain utama dalam agenda perubahan HMI adalah Komisariat. Mengapa hal ini dimulai dari komisariat ? jawabannya adalah karena pintu gerbang utama pembentukan kader berada dikomisariat, sehingga jika proses di komisariat tuntas dalam menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam HMI maka niscaya apa yang menjadi cita-cita HMI akan tercapai.
Aspek-aspek yang yang harus ditekankan dalam usaha pelaksanaan kaderisasi di komisariat tersebut haruslah diarahkan pada pertama : pembentukan integritas watak dan kepribadian yang terbentuk sebagai pribadi muslim yang menyadari tanggung jawab ke-Khalifahan-nya dimuka bumi ini, sehingga citra akhlakul karimah senantiasa tercermin dalam pola piker, sikap dan perbuatannya. Kemudian yang kedua : pengembangan kualitas intelektual  yang mengarah pada penguasaan dan pengembangan keilmuan, pengetahuan senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai Islam.

Komisariat Psikologi Dalam Barisan Perubahan
Komisariat psikologi yang merupakan bagian terkecil dari tubuh HMI memiliki peran yang sangat besar dalam sumbangan kaderisasi di HMI cabang Jogjakarta, hal ini ditandakan dengan semangat yang konsisten dalam hal perkaderan selama 9 tahun didirikanya komisariat psikologi. Berhasil atau tidaknya kepemimpinan komisariat dari masing-masing periode tentunya bukan menjadi tolak ukur yang mendasar dari keberhasilan perkaderan akan tetap proses yang dijalani menciptakan kader-kader yang memiliki sikap kritis terhadap realitas social dimanapun dia berada walaupun tanpa disadari dan diakui bahwa kader tersebut terbentuk dalam proses-proses yang dilewatinya di komisariat. Hal ini juga bukan merupakan hal yang di idealkan dalam perkaderan HMI akan tetapi dengan refleksi tersebut setidaknya dapat dijadikan modal dasar bagi komisariat psikologi untuk mencapai sesuatu yang di idealkan, yaitu kesadaran kolektif kader secara simultan.
Sesuai dengan keilmuan psikologi yang dipunyainya maka potensi keilmuan ini merupakan peluang yang dapat dijadikan modal dasar bagi komisariat bahwa keilmuan psikologi tersebut dapat dijadikan alat perjuangan HMI, karena saat ini kebutuhan masyarakat untuk mengembangkan keterampilan psikologis dalam rangka meningkatkan kualitas hidup individu masyarakat sangat besar. Jika keilmuan psikologi tersebut dimiliki oleh setiap kader Komisariat psikologi yaitu untuk menganalisis fenomena-fenomena social masyarakat, maka ini dapat membantu perjuangan HMI dalam wilayah regional HMI Cabang Jogjakarta tentang gerakan social.
Dengan orientasi yang terencana serta memiliki visi dan misi yang jelas harapan kedepan bahwa komisariat Psikologi dapat memasifkan gerakan intelektual keilmuan dalam rangka menjawab tantangan-tantangan eksternal maupun internal komisariat psikologi, karena arti penting proses perkaderan HMI adalah usaha-usaha yang dilakukan organisasi secara sadar dan sistematis sehingga memungkinkan seorang anggota HMI dapat mengaktualisasikan potensi dirinya menjadi seorang kader muslim-intelektual-profesional yang memiliki 5 kualitas insan cita.

Pra Wacana Orientasi Keilmuan Psikologi Menjawab Persoalan Masyarakat
Saat ini kebutuhan masyarakat untuk mengembangkan keterampilan psikologis dalam rangka meningkan kualitas hidup individu masyarakat sangat besar. Hal ini merupakan salah satu keharusan bagi individu masyarakat dalam menghadapi kompleksitas kehidupan modern. Dari hasil penelitian yang dilakukan WHO (Word Health Organization), bahwa terjadi penurunan 8,1 % tingkat produktivitas masyarakat dunia yang diakibatkan karena ganguan mental. (kompas, 19 april 2001). Tahun 2001 tercatat 450 juta dari 8 miliyar penduduk dunia mengalami gangguan mental dan satu 1 juta diantaranya mengalami neuropsikiatrik, di Indonesia sendiri diperkirakan ada 6 juta orang atau 2,5 %. (kompas, 5 april 2001). Kompleksitas kehidupan modern inilah salah satu penyebab penurunan tingkat produktivitas masyarakat, terutama pada sisi psikologis. Memang pada satu sisi kehidupan modern memberikan tawaran kemudahan dan efisiensi bagi sebagian individu masyarakat, akan tetapi di pada individu yang lain dirasakan sebagai hal yang menyulitkan karena merupakan sebuah tantangan hidup yang berat sehingga perjuangan individu untuk mendapatkan kualitas hidup yang baik semakin sulit.
Masalah-masalah baru maupun lama secara serentak muncul dipermukaan. Fenomena korupsi, konflik horizontal, konflik antara elite politik dan fenomena kenaikan krisis ekonomi seperti kenaikan BBM yang berefek pada kenaikan harga tak henti-hentinya menjadi berita di media massa. Di dunia kriminal juga tidak kalah maraknya, pembunuhan, perkosaan anak dibawah umur, seks bebas serta pencurian dan perampokan, ditambah lagi dengan bencana nasional berupa gempa bumi, banjir, tanah longsor dan bencana-bencana lainnya yang disebabkan oleh eksploitasi alam yang berlebih-lebihan, semua itu seakan menambah tantangan bagi bangsa ini untuk mencapai kemajuan, kemakmuran dan keadilan. Generasi pada zaman ini telah dihadapkan pada tantangan yang sangat besar dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Fenomena-fenomena sosial inilah yang kemudian berpengaruh pada psikologi individu masyarakat sehingga secara tidak sadar akan mempengaruhi kesehatan mental masyarakat.
Dengan kondisi social seperti yang digambarkan di atas maka kemudian pertannyaannya bagaimanakah peran keilmuan psikologi ? untuk menjawab pertanyaan diatas tidaklah sederhana, perlu kajian kajian teoritis mengenai psikoanalisis, behaviorisme, humanisme, serta aliran-aliran psikologi lainnya dan tentunya juga tidak dipandang secara parsial, perlu adanya teori-teori lain yang mendukung untuk penyelesaian persoalan tersebut seperti hukum,  sosiologi, antropologi dan lain sebagainya. Dalam psikologi diakui bahwa manusia adalah mahluk individu dan sekaligus mahluk social, artinya manusia secara kodrati yang satu berbeda dengan manusia yang lain, akan tetapi mereka saling membutuhkan. Dalam diri manusia juga terdapat berbagai aspek yaitu fisik, psikis dan social. Fisik manusia tumbuh secarqa alamiah sesuai dengan pertumbuhan usianya. Pertumuhan fisik ini tanpa perlu dipacu dan siaarkan, namun pada pertumbuhan psikis dan social harus diaarkan kepada manusia. Disinilah arti pentingnya psikologi yang berpriinsip optimis membantu individu agar mampu berkembang sehingga hidupnya menjadi lebih berkualitas.