Sabtu, 22 Januari 2011

AGAMA DALAM BINGKAI SEJARAH


Fakta sejarah mengungkapan bahwa sebagian besar peradaban dunia yang tumbuh dan berkembang di muka bumi ini pada awalnya dimotivasi oleh sebuah keyakinan agama. Hal ini terbukti dari monumen-monumen bersejarah seperti piramid dimesir, candi borobudur di jawa tengah, ka’bah di mekah dan banyak lagi bangunan-bangunan bersejarah yang menandakan bahwa dahulu terdapat suatu peradaban besar yang di topang keras oleh keyakinan agama.

Agama Islam, Yahudi dan Kristen seperti yang kita ketahui bersama adalah agama yang diyakini berasal dari langit atau sering kita sebut sebagai agama-agama samawi. Pengertian secara sederhana agama samawi adalah agama yang memiliki wahyu dari para nabi-Nya. Seperti halnya agama Islam yang secara geneologi diawali ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu Allah melalui perantara malaikat Jibril di Gua Hira pada abad ke 7 Masehi. Pewahyuan itu berlangsung secara terus-menerus selama 23 tahun yang kemudian wahyu-wahyu itu di kumpulkan dan di abadikan dalam bentuk teks yang bernama Al-Qur’an yang merupakan kitab suci agama Islam.

Wahyu Al-Qur’an yang berbahasa arab mengisyaratkan bahwa Allah secara implisit telah memasuki perantaraan sejarah dan terdapat kaidah-kaidah sejarah didalamnya yang bersifat kultural-empiris, sehingga dengan demikian bahwa bahasa arab ini memiliki sifat patrikular, namun pesannya bersifat universal karena ajaran Islam ditujukan  kepada seluruh umat manusia sebagai agama yangrahmatan li al-alamin. Oleh karena itu sifat lokalitas yang muncul pada ranah bahasa dan budaya arab  sebaiknya dipahami sebagai bukti dan wadah yang bersifat instrumental-historis. Pesannya yang universal dan fundamental harus selalu digali dan di formulasikan kedalam ranah bahasa dan budaya non-arab, sehingga eksklusivisme bahasa dan budaya arab bukan sebagai penghalang penyebaran islam, akan tetapi sebagai penyimpan dan penjaga kemurnian ajaran Islam.
Dengan pemahaman diatas maka ketika seseorang melakukan penerjemahan dan penafsiran dalam memahami sebuah teks Al-Qur’an, maka secara tidak langsung yang bersangkutan juga melakukan penafsiran dan menulis ulang sebuah teks, hanya saja pada level mental (logika). Hal ini dikarenakan teks Al-Qur’an hanyalah salah satu aspek dari realitas kehidupan beragama, pemahaman agama yang hanya menyandarkan pada otoritas teks tanpa memahami dan mengapresiasikan konteks psikologis, social dan demografis  dimana teks Al-Qur’an itu dilahirkan maka, dimensi universalnya akan terkalahkan oleh dimensi tekstualnya sehingga pemahamannya terhadap Islam lebih bersifat patrikularistik.

Ada tiga dimensi dalam memahami kehidupan beragama selain dari pandangan kita terhadap kajian teks, Pertama : dimensi personal yaitu agama yang memberikan acuan hidup seseorang secara pribadi untuk memberikan makna bagi setiap  tindakan dan peristiwa baik pada saat suka maupun duka, untuk mengarahkan pada makna dan tujuan hidup yang sebenarnya. Kedua : dimensi cultural, mengingat suatu agama tumbuh dan berkembang melalui dinamika kultur, sehingga dimensi cultural akan mewarnai seseorang atau masyarakat untuk mengekspresikan nilai-nilai keagamaannya. Ketiga : dimensi ultima, yang merupakan dumensi yang mengacu pada sesuatu yang absolute, kesadaran ini akan membedakan tindakan seseorang layak atau tidaknya secara religious dari sebuah ekspresi cultural.

Dengan demikian penting kiranya kita sadari bahwa dalam studi keagamaan tidak cukup hanya tertuju pada studi terhadap teks-teks keagamaan saja akan tetapi lebih dari itu yaitu kajian budaya atau tradisi, sehingga mau tidak mau harus melibatkan metodologi ilmu-ilmu social lainnya. Dalam Islam terdapat ajaran baku yang diyakini sama, namun pada level penafsiran dan tradisi akan ditemukan keberagaman, bahkan keberagaman ini telah melembaga kedalam sebuah mazhab baik dalam filsafat, fiqh, politik, maupun cabang ilmu ke-Islaman lainnya. Salah satu kekuatan yang mengikat keberagaman tersebut adalah pesan tauhid dan keontentikan teks.

Berbicara Tauhid dalam agama Islam tidak terlepas dari kalimat persaksian (syahadat), format syahadat yang begitu pendek dan sederhana akan tetapi dampaknya sangatlah luar biasa, karena syahadat adalah sebuah pernyataan persaksian dan manifesto Tahuid yang secara sadar akan mempengaruhi cara berfikir dan cara hidup seseorang dalam memandang dunianya. Ajaran Islam, <span>sikap percaya (iman) selalu dikaitkan dengan sikap kritis</span> sehingga kalimat syahadat-nya sangatlah filosofis. Pertama kita diajak menegaskan “tidak ada tuhan” yang patut kita sembah, kita diajak untuk berempati dengan faham ateisme[1] dan kemudian kita dituntut membangun argumentasi rasional dengan bimbingan wahyu (Al-Qur’an) untuk sampai menemukan Tuhan yang patut disembah. “Tiada tuhan kecuali Tuhan” yang sebenarnya yaitu Allah SWT. Dengan demikian iman merupakan prodak nalar dan hati yang diterangi oleh wahyu atau bisa juga dibalik bahwa iman adalah ajaran wahyu yang diterima secara rasional.

Selain itu sosok rasul Muhammad sang pembawa ajaran adalah figur sejarah yang transparan, perjalanan hidupnya tidak di tutupi oleh misteri dan spekulasi. Secara social-historis salah satu prestasi mencolok dari Muhammad adalah kemampuannya menciptakan kohesi dari berbagai suku yang sedemikian beragam dari Madinah ke Spanyol dan Turki. Konsep tauhid yang sederhana dan mudah dicerna serta karakter keterbukaan Islam untuk menerima symbol dan elemen kultur merupakan sebuah media ekspresi dan penyangga pesan dan eksistensi Islam.

Puncak-puncak kejayaan Islam pada masa lalu di sandarkan pada prinsip dan semangat tauhid sehingga watak peradaban Islam pada dasarnya bersifat inklusif, toleran dan keterbukaan terhadap inovasi dan pengembangan intelektual keislaman, karena Islam dalam hal ini sangat menghormati penalaran dan eksplorasi ilmiah. Dengan karakter tersebut secara menakjubkan Islam telah terbukti mampu menyulap wilayah Arabia yang semula gersang menjadi mata air peradaban Islam yang tetap berkembang hingga sekarang. Bukti nyatanya dapat kita lihat betapa banyak ilmuan kelas dunia pada saat itu yang lahir dari inspirasi dunia Islam seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Sina, Al Farabi mulla sadra dan yang lainnya. Mereka turut memberikan sumbangan besar dalam menghantarkan lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi modern barat saat ini.

Namun sangat disayangkan sejarah Islam hari ini hanyalah tinggal sejarah sehingga muncul Pertanyaan di benak umat Islam hari ini, mengapa hari ini islam gagal dalam menghantarkan lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi modern sebagaimana yang berkembang di Eropa barat? Salah satu penyebabnya adalah umat Islam tidak mampu membangun institusi riset yang besar dan independent yang mengabdi pada ilmu terapan. Hal ini dikarenakan kuatnya peradaban teks dan kekuasaan ulama-ulama yang lebih mengedepankan ritual dan kekuasaan ketimbang membangun peradaban, sehingga mereka telah menyia-nyiakan aset intelektual yang luar biasa yang pernah dimiliki oleh dunia Islam. Misalnya saja teknologi sederhana seperti kompas, ketika kompas berada di tangan ulama hanya digunakan untuk menentukan arah kiblat, sedangkan ketika kompas ditangan orang-orang Eropa digunakam untuk berani berlayar keliling dunia mengarungi lautan. Kemudian ilmu falak atau ilmu astronomi, jika di Islam ilmu falak hanya digunakan ulama untuk menentukan kapan datangnya Ramadan, sementara dibarat ilmu ini di gunakan sebagai modal untuk melakukan petualangan luar angkasa.

Karena sebab diataslah kemudian Islam mengalami stagnasi dalam membangun peradaban modern bahkan hari ini umat Islam jauh tertinggal dari barat secara ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian maka secara tidak langsung umat islam telah menelantarkan proyek besar islam untuk mewujudkan janjinya sebagai ummat yang terbaik dan unggul dalam peradaban seperti yang telah dijelaskan dalam  Al-Qur’an surat 3 : 150 yang menyatakan bahwa “engkau telah menjadi umat terbaik yang telah di munculkan untuk umat manusia, seraya menganjurkan kebaikan dan melarang keburukan dan yang percaya pada Tuhan

Selanjutnya Konsep hablumminallah dan hablumminannas mengisyaratkan terdapat dua ajakan dari ajaran Islam yang sangat fundamental yang pertama yaitu Hablumminallah (hubungan manusia dengan tuhan) yang mengajak manusia untuk melakukan trasnsendensi[2] diri untuk menemukan sesuatu “yang lebih” yang berada diluar realitas historis-empiris yaitu Tuhan. Dan yang kedua adalahHablumminnannas (hubungan manusia dengan manusia) yaitu ajakan atau doktrin tentang tanggung jawab social untuk senantiasa membantu orang lain dalam rangka menciptakan masyarakat yang sejahtera.
Demikianlah wahyu Ilahi memanggil nurani dan penalaran kritis kita sebagai manusia untuk bekerja memberikan pencerahan kepada masyarakat sehingga contoh sejarah yang sesungguhnya telah dipaparkan dan di amanahkan Tuhan pada manusia. Jika kita cermati teks Al-Qur’an maka Tuhan berulang-ulang kali menggunakan kata “Kami” ketika menjelaskan proses perubahan social yang oleh para ahli tafsir dipahami bahwa Tuhan melibatkan manusia dalam mendesain arah sejarah hamba-hamba-Nya. Dengan demikian muncul pertanyaan kemanakah arah sejarah dan dimana peran agama? Jawabannya lagi-lagi dikembalikan pada manusia sendiri karena instansi dan pengguna jasa terakhir agama dan peradaban adalah manusia itu sendiri. Tuhan telah menetapkan takdir-takdir Nya, yaitu formula sebab-akibat yang berlaku pada prilaku alam maupun kehidupan manusia dan dengan modal kebebasan yang dimiliki manusia tampil mendesain dan mengendalikan bekerjanya takdir Tuhan.


[1]  Faham Ateisme adalah sebuah faham yang tidak mempercayai adanya Tuhan.
[2]  Transendensi adalah kemampuan menerobos keluar dari yang membelenggu kefanaan lalu mendekat dan berserah diri (islam) pada penciptan-Nya (Tuhan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar