Sabtu, 22 Januari 2011

Mengenal Psikoanalisis Jaques Lacan


I.        Pendahuluan
Psikoanalisis dalam pengertian secara harfiah adalah ilmu yang mengurai tentang “diri” manusia[1], dan merupakan aliran dari psikologi modern, bapak pendirinya yaitu Sigmund Freud. Gagasan tentang diri menurut kaum humanis barat di definisikan dengan beroperasinya kesadaran (seperti berfikir, kehendak bebas, tindakan dan sebagainya) akan tetapi menurut Freud dengan psikoanalisisnya menyatakan bahwa konsep tentang diri (kesadaran) dideterminasi atau dipengaruhi oleh ketaksadaran dan berbagai dorongan dan hasratnya sehingga ia membagi dua wilayah kesadaran dan ketaksadaran itu menjadi sesuatu yang radikal.
Gagasan-gagasan Freud inilah yang kemundian berkembang menjadi suatu aliran dalam psikologi modern, sehingga di Prancis Jaques Lacan yang berprofesi sebagai psikoanalisis pada tahun 1950 mengembangkan pandangan Psikoanalisisnya dengan didasarkan pada berbagai gagasan yang diartikulasikan dalam antropologi dan linguistic strukturalis. Lacan mencampur adukan teori Freud dan Saussure (Linguistik) bahkan Lacan juga dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filsafat Heidegger, Levi Strauss dan Derrida. Dari hasil “perenungan” Lacan tentang Psikoanalisis dia menginterpretasikan Freud menggunakan teori strukturalis dan postrukturalis, Lacan kemudian mengalihkan psikoanalisis yang secara hakikatnya bersifat humanis menjadi menjadi teori atau filsafat psikoanalisis.
Psikoanalisis Lacanian mempunyai dua garis besar yaitu fenomenologi dan strukturalisme. Jika dalam fenomenologi menekankan pada konsep diri yang bebas, kemudian strukturalisme menekankan pada determinisme bahasa. Lacan menggunakan strukturalisme tetapi tidak pernah “menyangkal subjek”, oleh karena itu konsep diri tidak terelakkan dari psikoanalisis lacanian, sementara strukturalisme menjadi cara pembahasannya.

II.      Kesadaran dan Ketaksadaran
Jika Freud mengatakan bahwa “dimana ada id disitu ada sang Aku (ego)” yang berarti id yang dalam hal ini ketaksadaran akan digantikan dengan sang Aku (kesadaran), menurut Lacan itu mustahil, karena bagi lacan sang Aku (ego) hanyalah ilusi, manifestasi dari ketaksadaran itu sendiri, sehingga lacan menegaskan bahwa ketaksadaran adalah bagian dari seluruh kehidupan.
Inti dari konsepsi tentang diri manusia menurut pandangan Lacan adalah gagasan bahwa ketaksadaran yang mengatur seluruh factor eksistensi manusia secara tersetruktur seperti bahasa, dia melandaskan pandangan ini pada uraian Freud tentang dua mekanisme utama dari berbagai proses ketaksadaran, kondensasi dan pemindahan, sehingga menurut Lacan pada hakekatnya kedua mekanisme ini merupakan fenomena bahasa.
Hal diatas dibuktikan oleh Lacan bahwa analisis mimpi Freud dan kebanyakan analisisnya yang merupakan symbol dari ketaksadaran bergantung pada permainan kata-kata, asosiasi dan bersifat verbal, dengan demikian Lacan menyimpulkan bahwa isi dari ketaksadaran sepenuhnya sadar akan bahasa dan secara khusus terdiri dari struktur bahasa. Lacan menyebutkan hal tersebut dengan Transalasi Linguistik atas gambaran Freud akan ketaksadaran sebagai wilayah chaotic[2] yang secara terus-menerus menggeser dorongan dan hasrat.

III.    Mekanisme Pembentukan “Diri”
Dalam teori Freud tentang tahap perkembangan psikoseksual mengatakan terdapat tiga tahapan polimorfosa pada bayi yaitu oral, anal, dan phallic, inilah kompleks Oedipus dan konsep kastrasi yang mengahiri perversitas polimorfosa dan menciptakan mahluk “dewasa”.
Akan tetapi Lacan menciptakan kategori berbeda dengan Freud untuk menjelaskan lintasan atau tahapan dari bayi menuju dewasa. Dia membahas tentang tiga konsep yaitu kebutuhan (need), permintaan (demand), dan hasrat (desire) yang berhubungan dengan tiga fase perkembangan atau tiga ranah dimana manusia berkembang, yaitu ;
1.      Fase Pra-Oedipal
Dalam fase ini, subjek (bayi) sama sekali belum mengenal batasan ego atau dirinya. Ia tak menyadari batasan antara tubuh ibunya dengan tubuhnya sendiri. Bayi dan ibu masih merupakan kesatuan sehingga identifikasi belum terjadi pada fase ini. Menurut Lacan bayi yang belum memiliki pemisahan ini hanya memiliki satu kebutuhan yang dapat dipuaskan dan tidak membuat perbedaan antara dirinya dengan objek yang memuaskan kebutuhannya sehingga eksis diwilayah Yang Real.
2.      Fase cermin atau tatanan Imajiner
Fase ini merupakan bentuk praverbal yang logikanya bersifat visual. Fase ini terjadi pada bayi berusia 6 bualan dan merupakan fase paling krusial untuk identifikasi perkembangan ego. Misalkan jika kita anak kecil memperhatikan dirinya sendiri dalam sebuah cermin[3]. Ketika anak tersebut bercermin dirinya yang ada dicermin tersebut bersifat imajiner, karena yang ada didalam cermin tersebut hanya merupakan image. Saat itulah si anak mulai belajar untuk menciptakan konstruksi dirinya. Kemudian ketika dewasa dia akan terus membuat identifikasi imajiner dengan objek-objek yang ditemuinya. Menurut Lacan ini merupakan fase normal dalam perkembangan diri.
3.      Fase Oedipal atau Tatanan Simbolik
Fase ini terjadi ketika si anak harus berpisah dengan ibunya atau harus mengalami kastrasi. Anak tak lagi melihat dirinya satu kesatuan dengan ibunya tetapi memandang ibunya sebagai Liyan. Hubungan si ibu dengan si anak ini juga diperparah oleh kehadiran ayah, ayah disini bersifat metafora. Anak harus kehilangan objek hasratnya, yaitu ibu karena ia harus menerima kehadiran “ayah simbolik”. Anak harus mengikuti apa yang dikehendaki oleh ibunya, yaitu menyerap bahasa, penanda-penanda. Dengan demikian anak harus menerima mekanisme imaji diri lain yang kerap bersifat reppresif (super ego),yang fungsinya menerima dan mencerna image diluar diri, berupa representasi dari berbagai versi hukum, aturan, konvensi, adat, tabu dan lain-lain yang diidentifikasikan dengan dirinya sendiri, inilah yang disebut dengan “symbol ayah”. Secara singkat proses ini dilahirkannya kembali anak-anak dalam bahasa. Proses pembentukan ini di transliterasikan Lacan ke dalam fenomena linguistic yang ia pandang sebagai hasil penemuan Atas-Nama-Ayah. Lacan menganggap masa belajar anak telah mengalienasi psyche (jiwa) tetapi sadar tidak mungkin kembali ketahap jiwa praverbal, subjek ditentukan oleh bahasa.
Dari ketiga tahap tersebut diatas terdapat satu lagi tatanan selain imajiner dan simbolik, yaitu Yang Real. Yang Real adalah realitas yang tidak pernah kita ketahui-kenyataan ini berada diluar bahasa, suatu realitas yang diasumsikan karena tidak pernah kita ketahui. Struktur ini adalah struktur yang paling problematic dibandingkan dengan dua struktur lain, karena tidak pernah dialami langsung, melainkan melalui mediasi dua struktur yang lain. Singkatnya tatanan yang real adalah realitas, atau apa yang dipersepsi sebagai yang nyata merupakan apa yang mutlak menolak proses simbolisasi.

IV.   Relasi Hasrat dan Ego dalam Psikoanalisis Lacanian
Sigmund Freud menelusuri genesis hasrat dari pengalaman badani antara bayi dan ibunya, karena bayi mengalami ibunya sebagai satu kesatuan sehingga belum ada pembedaan antara intra dan ekstra, tubuhnya dan tubuh sang ibu. Kebutuhan alami seperti menyusui merupakan kebutuhan nutrisi yang menurut Freud akan menjelma menjadi hasrat seksual, hal itu dijelaskan oleh Freud pada saat sang bayi yang menghisap payudara sang ibu, setelah kebutuhan nutrisinya terpenuhi, muncul sebentuk kenikmatan dari tindak menghisap itu sendiri.
Akan tetapi keutuhan imajiner retak saat prinsip realitas mendobrak masuk kedalam jantung pertahanan hasrat, dengan demikian prinsip kenikmatan akhirnya berhadapan dengan keadaan luar. Dengan Egolah kemudian hasrat tak sadar tersebut di selaraskan dengan realitas, sehingga Freud menyimpulkan bahwa hasrat dibawah control rasionalitas ego.
Dari pendapat Freud tentang hasrat tersebut membuat pertanyaan bagi Lacan bahwa kenapa kerapuhan ego terlalu di agung-agungkan oleh para penganut psikologi ego seperti Freud. Lacan menolak ego sebagai sumber kekuatan psikologis, bahkan menekan ketergantungan ego pada hasrat yang menginfiltrasikannya dari medan social. Menurut Lacan Ego tidak dapat membedakan hasratnya dan hasrat orang lain serta cendrung kehilangan dirinya dalam citraan.
Individu menurut Lacan tidak hanya kehilangan kejernihan atas perbedaannya dengan yang lain, tetapi juga mencampur adukkan antara hasratnya dengan hasrat orang lain. Dengan demikian hasrat untuk memiliki identitas mendorong ego untuk meyakini dirinya sebagai objek, sehingga keyakinan ini membuatnya melihat dirinya sebagai objek dari hasrat orang lain atau menhasrati dirinya dengan hasrat yang sama. Sederhananya menurut Lacan jika mencintai orang lain sesungguhnya adalah tindak mental yang narsistik begitupun sebaliknya.
Dari refleksi inilah mendorong para pengikut neofreudian seperti Rene Girard yang memperkenalkan konsepnya hipotesis mimesis[4]. Dua konklusi Girard tentang hasrat dan mimesis, pertama: hasrat tidak di validasi oleh property yang terkandung dalam objek yang dihasrat. Kedua : hasrat sesungguhnya didorong oleh rasa kurang yang perlu dipenuhi. Seorang menghasrati objek bukan kualitas objek itu sendiri melainkan karena orang lain menghasrati objek itu dan mendapatkan keutuhan ontologis darinya. Kita menginginkan mobil tetangga bukan karena kualitas mobil itu, bukan juga kecintaan sang tetangga pada mobil itu melainkan mobil itu memberikan sense of identity pada sang tetangga.
dari kritik psikoanalisis-struktural Jaques Lacan menghasilkan tiga kesimpulan seputar kodrat hasrat pertama ;Hasrat adalah sesuatu yang melampaui biologi, ia bekerja saat kekurangan biologis tercukupi. Kedua Hasrat jauh dari ego cogito, ia adalah syarat yang memungkinkan formasi ego itu sendiri. Ketiga Hasrat dipacu oleh kodrat manusia sebagai mahluk yang berkekurangan secara eksistensial.
Kekurangan eksistensial ini memicu dua jenis hasrat yaitu pertama : Hasrat untuk memiliki (identitas, hasrat ini berkerja pada pengalaman imajiner dan simbolik. Ranah pengalaman yang memberi rasa keutuhan pada kekurangan primordial yang selalu membayangi sang subjek. Kedua: adalah hasrat untuk menjadi, hasrat ini bekerja pada ranah ranah pengalaman Yang Real, Praideologis dan non makana. Ia adalah potensi resistensi yang selalu mengganjal hasrat memiliki dan menunaikan hasratnya yang berujung pada simbolisasi.

V.     Ketaksadaran Dan Bahasa
Menurut Lacan ketaksadaran terstruktur seperti bahasa, karena mekanismenya seperti serupa dengan metafora dan metonimia[5], proses munculnya ketaksadaran dalam pandangan Lacan berbeda dengan Freud. Jika Freud berpandangan bahwa ketaksadaran sudah eksis sebelum bahasa memberikan pengaruhnya. Sedangkan Lacan berpandangan bahwa ketaksadaran terbentuk bersamaan dengan bahasa.
Ketika kata-kata gagal dalam memenuhi janjinya untuk memberikan pemuasan, maka ketaksadaran menyembul keluar menyajikan penampilannya dalam ketakserasian antara bahasa dan hasrat. Hal ini lah yang disimpulkan oleh Lacan bahwa ketaksadaran merupakan hasil dari penstrukturan hasrat oleh bahasa, seolah ketaksadaran tersebut bekerja seperti bahasa yang terdiri dari penanda dan pertanda. Hal itulah yang menjadi mekanisme didalam diri, bahwa bukan semata manusialah yang berkata, tetapi didalam manusialah penanda-penanda berkata.
Dalam hal ini hasrat mempunyai peran penting karena telah memberikan gambaran pada ketaksadaran. Gambaran tersebut mempunyai struktur yang terdiri dari penanda dan pertanda, sehingga hasrat itu sendiri pada dasarnya merupakan efek yang terus-menerus yang diakibatkan artikulasi simbolik, bukan merupakan nafsu tetapi secara esensial bersifat eksentrik dan tidak pernah puas. Inilah alas an Lacan menghubungkan hasrat bukan objek yang akan memuaskan tetapi dengan objek yang menyebabkannya.
Sekedar contoh dari apa yang dijelaskan Lacan diatas adalah mimpi, mimpi merupakan salah satu jalan ketaksadaran tersebut, hal ini dikuatkan oleh Eagleton yang menyatakan mimpi merupakan pemenuhan simbolik atas berbagai keinginan tak sadar dan dibalut dalam bentuk simbolik. Dalam hal ini ketaksadaran menutupi, menghaluskan dan menyimpangkan makna-makna, sehingga mimpi kita bisa menjadi teks-teks simbolik[6].

  
[1] Kamus Ilmiah Populer, Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry.

[2] Wilayah chaotic adalah ketidakteraturan.

[3] Film kartun tentang Harold merupakan contoh yang memudahkan pengambaran fase cermin ini. Ceritanya tentang Harold yang masih balita, sebelum tidur Harold “berjalan-jalan” melalui coretan pensil ajaibnya. Setiap coretan pensilnya misalnya ketika membentuk sebuah jendela, maka jendela tersebut menjadi sungguhan sehingga Harold bias keluar dari kamarnya melalui jendela tersebut. Kemudian Harold menyukai bulan dan iapun menggambar bulan. Karena cahaya bulan tersebut bayangannya muncul tepat didinding di hadapannya, Harold belum mengenal konsep bayangan jadi ia terheran-heran memandangnya. Ia malah menyangka bahwa bayangan tersebut kawannya. Tetapi kebingungan kembali menghadangnya karena apapun yang dilakuannya misalnya menggerakkan tubuh maka bayangan yang disangka kawannya itu selalu sama persis mengikutinya. Dengan berbagai cara Harold berusaha membuktikan mengapa “kawannya” tersebut selalu meniru gerak-geriknya.

[4] Menurut hipotesis ini kendali total ego atas hasrat adalah ilusi, karena manusia adalah mahluk yang tidak tahu apa yang harus dihasrati dan oleh karenannya berpaling ke orang lain untuk menentukan pilihan. Hasrat tidak muncul dari imperative ego, melainkan peniruan hasrat orang lain.

[5] Menurut tokoh formalis Rusia Roman Jakobson menerangkan bahwa terdapat dua operasi utama dalam bahasa manusia yaitu metafora dan metonomia. Metafora adalah subtitusi satu tanda lainya karena adanya kesamaan sedangkan metonomia adalah asosiasi satu tanda oleh tanda lainnya.

[6] Jaques Lacan Diskursus dan Perubahan social, pengantar kritik budaya psikoanalisis. Hal.303.


oleh Sugenk Riyadi 

1 komentar:

  1. Terima kasih kak atas materi tentang jacques lacan. Saya mahasiswi psikologi universitas mercu buana yogyakarta semester 1. materi ini sangat membantu saya dalam mengerjakan tugas filsafat umum.

    BalasHapus